Resensi Buku
Haruskah Buku Itu Ber-ISBN ?
--------------------------------------
Judul Buku : Jagat Penulisan dan Penerbitan
Pengarang : Bambang Trim
Tahun Terbit : 2013
Penerbit : Penerbit Bumi Aksara (Jakarta)
Jumlah Hal. : 68 + xi
------------------------------------------------------
Dalam percakapan sehari-hari orang sering “berdebat” tentang masalah buku. Perdebatan mereka berkisar tentang harga buku, warna kulit, desain cover, nama penulis atau pengarang, hingga ke soal “vonis” bahwa buku yang dimaksudkan itu sangat pantas dibaca atau dimasukkan saja ke tong sampah lantaran tidak bermutu. Dalam kaitan ini, paling tidak, kita bisa bercerita tentang apa sesungguhnya buku itu, dan apakah betul buku itu harus ber-ISBN (International Standard Book Number).
Walau buku ini (lihat judul) tergolong tipis, namun sajian demi sajian yang ada di dalamnya terbagi menjadi tujuh bab plus glosarium dan indeks. Bab I memaparkan tentang Dunia Kreatif Penulisan dan Penerbitan; Bab II tentang Pentingnya Industri Penulisan; Bab III Berbagai Profesi di Dunia Kreatif; Bab IV Proses Kreatif Penulisan; Bab V Proses Kreatif Penerbitan; Bab VI Kreatif dan Profesional sebagai Penulis; dan Bab VII tentang Pendidikan Kreatif Penulisan-Penerbitan.
Jawaban atas pertanyaan “buku itu apa ?” tersaji pada Bab I (hal. 6). Sebagaimana yang ditetapkan oleh UNESCO, tulisan-tulisan baru dapat dikatakan buku apabila telah memenuhi persyaratan (1) ia merupakan lembaran-lembaran kertas yang tercetak, (2) kertas-kertas tercetak itu digabungkan menjadi satu dalam bentuk jilidan, (3) kertas-kertas tercetak dan terjilid itu memiliki kulit yang biasanya berbahan kertas lebih tebal dari kertas isi, (4) kertas-kertas tercetak itu terdiri atas lebih dari 49 halaman, dan (5) cetakan yang dimaksud bukanlah cetakan berkala untuk masa-masa tertentu dan tidak berurutan dalam bentuk serial dengan terbitan lainnya. Jadi jelas sekali pengertian buku versi UNESCO ini tidak mempersyaratkan adanya ISBN.
Sementara itu pada uraian sebelumnya (hal. 4) nyata sekali penulis buku mengedepankan adanya ketentuan tentang ISBN tersebut. “Penerbitan buku meliputi jenis buku pelajaran, buku anak, buku referensi, kitab suci, buku panduan, buku pegangan, dan sebagainya; Sifat buku dinyatakan tidak berkala, dan buku tersebut memiliki ISBN.” Oleh karenanya, jika kita ikuti pandangan penulis (Bambang Trim), jelas bahwa setiap buku harus memiliki ISBN, tapi kalau menurut ketentuan UNESCO hal itu (ISBN) tidak perlu atau tidak mesti. Ketentuan tentang perlunya ISBN tersebut semakin kental di perguruan tinggi – perguruan tinggi manakala dosen (penulis buku) ingin mengajukan usulan kenaikan pangkat. Buku dengan dan tanpa ISBN memiliki bobot penilaian (cum) yang berbeda.
Berbicara soal buku, kepada kita biasanya dihadapkan pada dua jenis buku yakni; buku fiksi dan nonfiksi. Di luar dugaan, dalam buku yang diresensi ini masih terdapat satu jenis buku lagi yaitu buku faksi. Apa pula buku faksi itu ? Buku faksi adalah “buku yang dituliskan berdasarkan kisah nyata atau kisah yang benar-benar terjadi tanpa menyamarkan para pelaku cerita dan dikreasikan dengan daya cipta penulis. Jenis buku faksi seperti antara lain, biografi, autobiografi, kisah nyata, memoar, maupun kisah-kisah nyata dari kitab suci” (hal. 7).
Proses Kreatif
Maju mundurnya suatu peradaban bangsa yang disebabkan oleh banyak sedikitnya buku yang dihasilkan, sejatinya berpangkal pada peranan yang dimainkan oleh para penulis buku atau pengarang buku. Hal ini tak terlepas dari proses kreatif sang penulis atau calon-calon penulis. Pada halaman 33 dinyatakan bahwa “proses kreatif” adalah langkah-langkah seseorang mewujudkan kerja kreatifnya. Banyak hal yang dianggap kerja kreatif yaitu kerja menciptakan sesuatu berdasarkan daya akal dan pikiran seperti; menulis, membuat film, membuat kerajinan, dan membuat permainan integratif (games). Semua proses kreatif selalu bermula dari ide atau gagasan. Proses kreatif sebagaimana tersaji pada Bab IV (hal. 33) bermula dari lahirnya sebuah gagasan, lanjut membuat buram (drafting), merevisi (revising), menyunting (editing), dan menerbitkan (publishing).
Jika ide atau gagasan sudah muncul pada diri penulis, tinggal menindaklanjuti berupa karya-karya tulisan yang pada akhirnya dapat diterbitkan dan dapat dinikmati oleh masyarakat pembaca di jagat raya ini. Buku, di samping diterbitkan oleh suatu penerbit dapat juga diterbitkan sendiri dengan alasan efisiensi dan untuk meraup keuntungan yang lebih besar. “Tren menerbitkan buku sendiri mulai mengemuka di Indonesia pada tahun 2008-an. Saat ini lembaga-lembaga jasa penerbitan mulai membantu para self publisher untuk menerbitkan karyanya sendiri. Teknologi print on demand (POD) mulai diperkenalkan pada akhir dekade 1990-an dan juga berimbas ke Indonesia. POD atau percetakan manasuka adalah teknologi mesin cetak yang dapat mencetak dengan jumlah oplag atau tiras yang ekonomis. Kamu dapat mencetak buku 1 eksemplar hingga 500 eksemplar dengan harga yang ekonomis. Kalau saja tren ini dapat diikuti oleh para penulis buku di tanah air tentu banyak keuntungan yang mereka peroleh. Cuma sayang dalam buku ini tidak disertakan petunjuk teknis tentang langkah-langkah print on demand (POD) tersebut.
Buku ini, kendati sangat tipis, sangat cocok dibaca oleh calon-calon penulis buku dan juga penulis media massa. Bahasanya enteng, gampang dicerna, dan seakan ada petunjuk praktis di dalamnya. Siswa, mahasiswa, guru, dosen, dan siapa saja yang meminati dunia kepenulisan sangat cocok membaca buku ini. Apalagi pada akhir buku ini tersaji glosarium (semacama ensiklopedi mini) dan juga daftar indeks guna memudahkan pembaca. (romi sudhita).
Sima 2014