(0362) 21146
kominfosanti@bulelengkab.go.id
Dinas Komunikasi, Informatika, Persandian dan Statistik

Resensi Buku: Inilah Hebatnya Novel “Negeri 5 Menara”

Admin kominfosanti | 12 Juli 2018 | 10591 kali

 

Alif, sang tokoh dalam novel ini, dikisahkan tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya dilalui dengan berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, main bola di sawah, dan mandi di air biru Danau Maninjau. Tiba-tiba saja dia harus melintasi punggung Sumatera menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur untuk belajar di Pondok Madani. Hari pertama di pondok itu, Alif terkesima dengan “mantera” man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses. Di pondok ini, Alif bertemu dengan sahabat-sahabatnya seperti Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari bandung, dan Baso dari Gowa.

Novel “Negeri 5 Menara” karya A. Fuadi, memang hebat!  Novel pertama dari trilogi ini menunjukkan banyak sekali keunggulan. Itulah sebabnya, mengapa novel ini kemudian menjadi national best seller dan sebagai Indonesia’s Most Inspiring Novel. Mari kita lihat bukti-bukti dengan sedikit  menguak isi dalamnya.

Pertama-tama, novel ini sarat dengan muatan motivasi dan inspirasi. Simaklah, misalnya, kata-kata yang diucapkan Ustad Salman kepada muridnya, termasuk sang tokoh Alif,  di Pondok Madani tentang misi hidup. “Misi yang dimaksud adalah ketika kalian melakukan sesuatu hal positif dengan kualitas sangat tinggi dan di saat yang sama menikmati prosesnya. Bila kalian merasakan sangat baik dalam melakukan suatu hal dengan usaha yang minimum, mungkin itu adalah misi hidup yang diberikan Tuhan. Carilah misi kalian masing-masing. Mungkin misi kalian adalah belajar Al-Quran, mungkin menjadi orator, mungkin membaca puisi, mungkin menulis, mungkin apa saja.” (hal. 106).

Lalu, tentang kiat sukses pun diselipkan dengan manis tanpa terasa dipaksakan melalui ucapan Ustad Salman. Pada halaman 107, misalnya, ada jurus mempersiapkan diri untuk sukses. Seperti  apa? “… ada dua hal yang paling penting dalam mempersiapkan diri untuk sukses, yaitu going the extra miles. Tidak menyerah dengan rata-rata. Kalau orang belajar 1 jam, dia akan belajar 5 jam, kalau orang berlari 2 kilo, dia akan berlari 3 kilo. Kalau orang menyerah di detik 10, dia tidak akan menyerah sampai detik 20. Selalu berusaha meningkatkan diri lebih dari orang biasa,” ujar Ustad Salman di hadapan para muridnya di Pesantren Modern Pondok Madani. 

“Resep lainnya adalah tidak pernah mengizinkan diri kalian dipengaruhi oleh unsur dari luar diri. Oleh siapa pun, apa pun, dan suasana apa pun. Artinya, jangan mau sedih, marah, kecewa, dan takut karena faktor luar. Kalianlah yang berkuasa terhadap diri kalian sendiri, jangan serahkan kekuasaan kepada orang lain. Orang boleh menodong senapan, tapi kalian punya pilihan, untuk takut atau tetap tegar. Kalian punya pilihan di lapisan diri kalian paling dalam, dan itu tak ada hubungannya dengan pengaruh luar,” tulis sang pengarang, A. Fuadi dengan meminjam nama sang ustad.

Tak hanya lantaran motivasi yang tersisipkan dengan rapi melalui dialog yang membuat buku ini unggul, bahkan juga karena teknik pengungkapannya yang luar biasa bagus. Apalagi kalau dilihat pengandaian atau personifikasinya yang tepat. Tiga contoh ini mungkin cukup memberikan gambaran. “Semua orang mengobrol seperti dengungan ribuan tawon transmigrasi.” Atau,  yang ini: “ Dia dengan royal membagi energi positif yang sangat besar dan meletup-letup. Kami tersengat menikmatinya. Seperti sumbu kecil terpercik api, mulai terbakar, membesar, dan terang!” Dan, ini lagi :”Percaya kalian bisa kalau berusaha. Sesungguhnya bahasa asing adalah anak kunci jendela-jendela dunia.” ( hal. 51).

Penasaran? Belum membacanya? Silakan temukan buku ini dan nikmatilah di waktu luang. Pastilah sahabat akan terbawa larut dalam cerita ini, seperti orang yang tengah klangen nonton film. Terhadap novel ini, BJ Habibie, berkomentar,”…amat berharga bukan saja sebagai karya seni, tetapi juga tentang proses pendidikan dan pembudayaan untuk terciptanya sumber daya insani yang andal.” (Peresensi: I Ketut Suweca).

Sima 2014