Jumat (22/8/2025) pagi itu, puluhan
wajah muda dengan penuh semangat. Langkah mereka pasti menuju ruang ajang penghargaan
atas kerja keras mereka mengikuti Kompetisi Teknologi Informasi dan Komunikasi
(TIK) Nasional yang berlangsung setiap dua tahun sekali. Mereka datang dari 38
provinsi, membawa mimpi dan keberanian untuk membuktikan: keterbatasan fisik
bukanlah batas bagi kreativitas digital. Kompetisi TIK Nasional 2025 bagi
penyandang disabilitas. Acara yang digelar Badan Aksesibilitas Telekomunikasi
dan Informasi (BAKTI) Kementerian Komdigi, menjadi panggung inklusi di mana
teknologi bukan hanya milik sebagian orang, melainkan milik semua.
Menteri Komunikasi dan Digital
Meutya Hafid membuka acara dengan sebuah kisah yang menyentuh. Ia mengingatkan
hadirin pada sosok Vinton Cerf, salah satu “bapak internet” yang hidup dengan
keterbatasan pendengaran. “Internet sebetulnya lahir dari salah seorang
perancang teknologi yang juga adalah penyandang disabilitas. Vinton Cerf
bersama istrinya, yang juga tuli, justru terdorong menciptakan teknologi
komunikasi yang kini menghubungkan seluruh dunia,” tuturnya. Cerita itu bukan
sekadar inspirasi. Bagi Meutya, kisah Vinton Cerf menjadi bukti bahwa
penyandang disabilitas tidak hanya mampu beradaptasi, tetapi juga bisa mengubah
arah dunia. “Sejak internet lahir, jarak menjadi tidak lagi relevan. Semua bisa
terhubung, dan itulah kekuatan sejati inklusivitas,” tambahnya.
Kompetisi TIK yang kini berlangsung
bukanlah langkah pertama. Sejak 2016, BAKTI Kementerian Komdigi telah merintis
berbagai program inklusi digital melalui pelatihan, jambore, hingga kompetisi
TIK bagi penyandang disabilitas. Dari
Ambon, Padang, hingga Jayapura, ribuan peserta telah merasakan manfaat literasi
digital. Bahkan pada masa pandemi 2020, ketika dunia terhenti, kegiatan
pelatihan dialihkan secara daring, memungkinkan 1.336 penyandang disabilitas
ikut serta tanpa hambatan jarak.
Tahun 2022, program ini semakin
berkembang dengan pelatihan digital marketing, content creation, hingga public
relation berbasis digital. Hasilnya, bukan hanya peserta, tetapi juga guru
sekolah luar biasa ikut dibekali keterampilan digital untuk memperluas
ekosistem inklusif. Kini, di 2025, semangat itu mencapai puncaknya dengan
Kompetisi TIK Nasional Piala Menteri Komdigi. Sebuah wadah yang tidak hanya
melatih keterampilan teknis, tetapi juga menumbuhkan mental juara, kepercayaan
diri, serta keyakinan bahwa talenta disabilitas mampu berkontribusi pada
transformasi digital Indonesia.
Direktur Utama BAKTI Komdigi
menegaskan bahwa kompetisi ini adalah bagian dari perjalanan panjang Komdigi
dalam mengarusutamakan inklusivitas dalam transformasi digital Indonesia. “Sejak
dari Kominfo sampai sekarang, salah satu pilar transformasi digital yang kami
anut adalah komitmen terhadap inklusivitas. Inklusivitas itu tidak hanya
gender, tidak hanya wilayah 3T, tapi juga untuk para penyandang disabilitas.
Senang sekali melihat semangat mereka dari berbagai daerah, bahkan dari Papua
Pegunungan dan Maluku Utara,” ujarnya. Menurutnya, potensi penyandang
disabilitas di bidang digital sebenarnya sangat besar, meski seringkali
terhalang stigma sosial. “Potensi disabilitas ini kan laten, mereka sangat
pintar dan luar biasa. Namun kadang keluarga atau kerabat masih malu
mengedepankan anak-anak disabilitas. Forum seperti ini membuka peluang agar
potensi itu bisa muncul. Inilah misi BAKTI, membawa masyarakat—terutama di
wilayah 3T—ke arah yang lebih baik dengan produktivitas yang meningkat,
termasuk melalui inklusi digital,” jelasnya.
Selain membina kompetensi, BAKTI
juga membuka ruang nyata bagi penyandang disabilitas dalam dunia kerja. “Undang-Undang
Disabilitas sudah mewajibkan adanya kuota. Di BAKTI sendiri, kami sudah
merekrut profesional dari kalangan penyandang disabilitas. Bahkan melalui
sentra UMKM yang menjadi mitra BAKTI, kita terus membuka jalan agar mereka
punya akses produktif,” tambahnya.
Menurut data BPS 2020, Indonesia
memiliki sekitar 22,5 juta penyandang disabilitas, atau 5,5 persen dari total
populasi . Namun akses mereka terhadap teknologi masih timpang: hanya 34,89
persen yang pernah menggunakan ponsel atau laptop, jauh tertinggal dibandingkan
non-disabilitas yang mencapai 81,61 persen. Di tengah tantangan ini, Meutya
Hafid menegaskan bahwa kompetisi seperti ini adalah “jembatan emas” menuju
kesempatan yang setara. “Angka 5,5 persen ini bukan sekadar statistik,
melainkan ekosistem kehidupan—keluarga, kawan, lingkungan. Tantangan ini bisa
kita ubah menjadi kesempatan emas,” ujarnya.
Komitmen inklusivitas Indonesia juga
telah didengungkan di forum internasional, termasuk International Leaders Talk
di Jenewa pada Juli lalu. Menurut Meutya, kompetisi ini adalah wujud nyata dari
model inklusi partisipatif, yang memberdayakan dan dekat dengan masyarakat. Menkomdigi
Meutya Hafid memberi pesan sederhana namun kuat: penghargaan bukanlah akhir,
melainkan awal dari perjalanan panjang. “Ini bukan akhir ketika menerima apresiasi
dan penghargaan, tapi justru langkah awal menuju lebih banyak lagi potensi,”
tegasnya.
Kisah Vinton Cerf membuktikan bahwa keterbatasan bisa menjadi pintu lahirnya inovasi besar. Sementara di Jakarta, para peserta Kompetisi TIK Nasional 2025 membawa semangat yang sama: menulis kisah baru tentang inklusivitas digital Indonesia.
Sumber Artikel : Masyarakat Digital – Kementrian Komunikasi dan Digital