(0362) 21146
kominfosanti@bulelengkab.go.id
Dinas Komunikasi, Informatika, Persandian dan Statistik

Banyak Buta Huruf, Ancaman Terhadap Wajar 12 Tahun di Bali

Admin kominfosanti | 26 Juni 2013 | 1857 kali

Kalau Anda datang ke sebuah minimarket atau mal tentu bakalan menyaksikan para pengunjung yang dengan mudah melihat harga-harga barang lantaran yang bersangkutan tidak tergolong buta aksara. Begitu pula jika datang ke sebuah warung internet (warnet), mereka yang ada di situ pada asyik mengakses informasi, berkirim salam secara elektronik, atau menikmati hidup nyaman di dunia maya. Itu berarti, mereka pun cukup cerdas mengetik dan/atau membaca huruf-huruf yang ada di layar monitor. Dari dua contoh peristiwa ini dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat kita tergolong cerdas-cerdas dan tidak buta huruf lagi. 

Berbeda halnya kalau kita mendatangi sebuah pasar tradisional atau sebuah pertunjukan drama-tari klasik yang disebut Arja. Di situ kita akan berbaur menyaksikan betapa banyak manusia beserta latar belakang pendidikannya yang amat bervariasi. Ada yang tamatan SD, SMP, SMA, dan mereka yang sudah bergelar Sarjana keluaran perguruan tinggi. Dari sekian banyak pengunjung, tentu ada saja yang menyandang buta huruf (BH) atau buta aksara. Lebih-lebih jika kita tilik mereka yang berusia uzur (kakek-nenek), cukup banyak yang dapat kita temukan bahwa mereka itu mengidap buta huruf.
 Secara formal, masyarakat di Bali kini kondisinya memang demikian. Menurut data yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) akhir tahun 2008 yang dikemukakan oleh Kepala Bidang PNFI (Pendidikan Non Formal dan Informal) Disdikpora Bali, Ni Made Mertanadi, bahwa jumlah penduduk buta aksara atau buta huruf (BH) mencapai 302.523 orang. Diakuinya, setelah beberapa kali memaparkan angka buta aksara yang cukup besar tersebut banyak pihak yang kaget dan terperangah. Mereka bertanya-tanya seakan tidak percaya, “Masak Bali yang dikenal daerah peraup dolar memiliki banyak BH ?”  
Peran Mahasiswa
Sebagai  lembaga yang bergerak di dunia pendidikan, Undiksha Singaraja begitu peduli dengan kondisi tingginya BH di Bali. Bentuk kepedulian pimpinan Undiksha, akhirnya  berujung pada ditandatanganinya kesepakatan bersama (MoU) untuk menggarap 7.000 orang warga belajar buta aksara pada tahun 2010 dengan mengerahkan 700 orang mahasiswa yang bertindak sebagai Tutor (guru dalam PNF). Mereka (mahasiswa) diterjunkan ke desa-desa pada 20 kecamatan di tiga kabupaten (Buleleng, Gianyar, dan Karangasem). Kegiatan serupa dilanjutkan pada tahun 2011 menyasar daerah-daerah yang rawan BH. Persoalannya, mampukah para mahasiswa itu mengentaskan buta aksara yang cukup besar tersebut ? 
Dengan kemampuan yang mereka miliki, sepertinya tidak ada kata menyerah di pundak mereka. Kegiatan penuntasan buta aksara yang dilakukan oleh mahasiswa Undiksha dan juga mahasiswa beberapa PTS di Bali diintegrasikan dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat fungsional (baca, tulis, hitung) sebagaimana diakui oleh Kepala Bidang PNFI Disdikpora Bali. Agar keaksaraan fungsional itu dapat berdaya dan berhasilguna, perlu menerapkan beberapa pendekatan seperti yang diterapkan oleh beberapa Pusat Pengembangan PNFI (P2-PNFI) di Indonesia. Salah satu di antaranya yaitu P2-PNFI Regional II Jawa Tengah, Semarang, menerapkan pendekatan; Pendidikan keaksaraan berbasis lingkungan, keagamaan, mata pencaharian, masalah sosial, dan pendekatan berbasis kesehatan.
Pendekatan Keagamaan
Beberapa pendekatan tersebut kiranya cocok diterapkan bagi masyarakat pedesaan di Bali termasuk juga Buleleng. Sebut saja, pendekatan berbasis keagamaan. Kita semua tahu bahwa kehidupan keagamaan (Hindu) di Bali begitu kental, terutama di daerah-daerah pedesaan. Mahasiswa yang masing-masing menghadapi puluhan warga belajar yang masih tergolong BH, dalam membelajarkan mereka tak perlu terlalu serius dan tidak juga terlalu santai. Kegiatan baca-tulis-hitung (Calistung) perlu dikait-kaitkan dengan kehidupan beragama. Contoh, dalam mengenalkan huruf, suku-kata, kata, dan kalimat kepada warga belajar, maka objek belajar (membaca)  diusahakan seperti; Ca – nang, cem – per, ban – ten, dst. Begitu pula ketika mengenalkan cara-cara menulis kata dan kalimat. Untuk mengajarkan angka ( 1 – 100, 100 – 500, dst) dikaitkan dengan harga-harga bahan upacara seperti harga ayam, harga janur, harga buah-buahan, dsb. Dengan cara seperti itu, mereka akan merasa senang belajar karena dapat menyentuh kebutuhan mereka atau berhubungan dengan apa yang mereka lakoni dalam keseharian.
 
Ancaman Serius.
Dengan angka BH yang demikian besar, lalu mampukah di tahun 2012 ini Bali menerapkan wajib belajar (Wajar) 12 Tahun yang meliputi SD, SMP. Dan SMA sebagaimana yang pernah digagas oleh gubernur ? Jawabnya, jangan ditanyakan pada rumput yang bergoyang tapi bertanyalah ke dalam diri kita masing-masing. .Jawaban sementara yang barangkali dimiliki oleh seorang pedagang asongan, “Amat sulit akan terlaksana mengingat Wajar 9 Tahun saja masih belepotan dan masih menjadi ancaman serius buat masyarakat Bali.”
(Romi Sudhita)
Download disini