Indonesia sebagai negara kepulauan dan sekaligus memiliki banyak pegunungan dan sungai dikenal sebagai negara yang subur dan menjanjikan dari sisi pertanian. Oleh karena itu, sejak lama Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Bahkan pernah mencapai puncak kejayaan dengan swasembada beras dan beberapa hasil pertanian lainnya. Sayangnya hal itu tidak dapat dipertahankan hingga sekarang.
Dengan pesatnya pertumbuhan penduduk yang diiringi dengan semakin banyaknya tanah pertanian beralih fungsi, “swasembada pangan” semakin jauh dari harapan. Banyak kawasan pertanian yang subur berubah fungsi menjadi pabrik dan pemukiman. Tanah produktif yang dulu dipasangi label “jalur hijau” telah menjadi hotel, restoran, café, dan lain-lain. Bahkan, sawah-sawah di pedesaan yang jauh dari kebisingan kota pun, tidak sedikit yang berubah peran menjadi kawasan industri. Akibatnya tanah pertanian terus berkurang dari tahun ke tahun. Dengan kondisi seperti itu, tidak mengherankan kalau kemudian Indonesia berubah status dari negara swasembada pangan menjadi negara pengimport beberapa jenis pangan.
Di sisi lain, perubahan ekstrim cuaca belakangan ini menyulitkan petani untuk memprediksi musim hujan, sehingga menjadikan hasil pertanian tidak optimal. Lebih parah lagi, kecenderungan masyarakat – terutama masyarakat perkotaan – lebih memilih bahan pangan import dibandingkan produk lokal. Hal ini menjadikan harga hasil pertanian lokal merosot di pasaran. Akibatnya penghasilan petani lokal menurun yang menjadikan banyak petani beralih profesi dan meninggalkan pekerjaannya sebagai petani.
Permasalahan seperti ini telah berlangsung sejak beberapa tahun belakangan. Akibatnya terjadi kelangkaan hasil pertanian sehingga harga hasil pertanian memuncak. Sebagai contoh harga cabai naik drastis sampai dua kali lipat dari harga sebelumnya.
Menyadari kondisi tersebut, pemerintah kini menargetkan swasembada pangan pada akhir tahun 2019 nanti. Salah satu komoditas yang ditargetkan tidak akan diimpor dalam dua tahun ke depan adalah jagung. Untuk mewujudkan hal tersebut Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman pun bergerilya ke sejumlah daerah untuk mendongkrak produksi jagung agar impor jagung bisa ditutup total.
Memanfaatkan Tanah Sejengkal
Seperti diketahui bersama, keberadaan tanah pertanian di beberapa tempat saat ini banyak yang tidak produktif. Tidak sedikit orang menjadikan tanah sebagai bahan spekulasi bisnis. Tanah pertanian yang subur sengaja dikosongkan, dipetak-petak, untuk selanjutnya dijual dalam bentuk tanah kapling.
Menyikapi hal itu, Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sedang menggodok rencana pungutan pajak progresif bagi tanah-tanah menganggur. Pajak tinggi tersebut akan dikenakan terhadap keuntungan dari hasil penjualan tanah. Hal ini tentu saja sangat positif dalam rangka menghindari tanah menganggur.
Jika ditelusuri secara seksama, sebenarnya setiap rumah, kantor, pasar, kawasan fasilitas umum, dan ruang publik lainnya pasti memiliki celah kosong, yang memungkinkan untuk melakukan penanaman tumbuhan. Tumbuhan di sini tidak terbatas pada tumbuhan besar dan berkayu, tetapi juga tumbuhan-tumbuhan kecil yang tidak memerlukan ruang yang besar untuk tumbuh. Contoh tumbuhan seperti itu adalah berbagai macam tumbuhan sayuran dan beberapa jenis tumbuhan buah, seperti: bayam, kangkung, kunyit, kencur, tomat, cabai, dan sebagainya. Tumbuhan seperti ini sangat diperlukan sebagai bahan konsumsi sehari-hari atau dikenal dengan tanaman pangan.
Untuk berbudi daya tanaman di rumah atau di kantor yang memiliki lahan sempit dapat dilakukan dengan pengaturan jarak tanam dengan mempertimbangkan efisiensi lahan, dapat pula dilakukan dengan membuat kebun vertikal atau kebun gantung. Jika tidak memungkinkan untuk ditanam langsung pada lahan, alternatif lain adalah dengan pot. Sekarang telah tersedia pot dengan berbagai ukuran dan dengan mudah untuk mendapatkannya. Bahkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah ditemukan teknik pertanian hidroponik, yang tidak memerlukan media berupa tanah. Dengan media air, tumbuhan tertentu bisa hidup dengan baik.
Hal ini sejalan dengan himbauan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman dan Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, agar ibu rumah tangga menanam cabai sendiri lewat Gerakan Tanam Cabai sebanyak lima pohon di setiap rumah sebagai respon atas menggilanya harga cabai belakangan ini.
Urban farming adalah istilah yang digunakan untuk aktivitas berkebun di lahan kecil atau di rumah perkotaan. Dengan kata lain, “tanah sejengkal” pun dapat digunakan untuk berkebun.Selain menghasilkan bahan pangan juga akan menciptakan suasana nyaman dan sehat karena tumbuhan menghasilkan Gas Oksigen (O2) yang sangat diperlukan oleh tubuh. Jadi, selain menguntungkan secara ekonomi tumbuhan di sela-sela gedung juga memberi keuntungan dari segi kenyamanan, keindahan, dan kesehatan penghuninya.
Target Menuju Swasembada
Kalau diasumsikan semua warga negara melakukan terobosan ini, dimana pada setiap rumah tangga, perkantoran, pasar, dan di berbagai areal fasilitas umum dimanfaatkan untuk melakukan penanaman tumbuhan dengan konsep pemanfaatan tanah sejengkal, maka tambahan hasil pangan yang diperoleh setiap musim dapat dihitung. Dalam hal ini perhitungan matematika yang cocok adalah: pembagian, rata-rata hitung (mean), persentase, dan jumlah total.
Sesuai dengan data Badan Pusat Statistik (BPS), untuk tahun 2010 saja banyak rumah tangga pada seluruh wilayah di Indonesia adalah 61.390.300 rumah. Khusus di Bali, data tahun tersebut menunjukkan bahwa rumah tangga yang ada sebanyak adalah 1.032.700 (https:// www.bps.go.id/linkTabelStatis/ view/id/1283). Apalagi saat ini, tentu telah terjadi peningkatan yang cukup signifikan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.
J i k a p e n d u d u k memanfaatkan lahan sempit yang ada di sela-sela bangunan rumahnya untuk berkebun, maka mereka akan dapat memanen hasilnya secara berkala. Misalnya setiap rumah tangga rata-rata dapat menghasilkan cabai setiap 3 bulan ¼ kilogram untuk di perkotaan dan ½ kilogram untuk di pedesaan, maka tambahan produksi cabai setiap tahun adalah {(1/4 x 0,52 x 61.390.300) + ( ½ x 0,48 x 61.390.300)} x 4 = 90.857.644 kilogram. Coba bayangkan, tambahan produksi cabai per tahun – di luar hasil cabai yang normal yang dimiliki petani saat ini – sebesar 90 jutaan kilogram atau 90 ribuan ton. Ini baru tentang cabai, tumbuhan sejenis lainnya juga dapat dikembangkan seperti itu.
Dari hasil perhitungan itu jelas bahwa Indonesia masih memiliki potensi besar untuk mengejar ketinggalan di bidang pangan dengan memanfaatkan tanah sejengkal, baik dengan cara horizontal maupun vertikal. Jika hal ini dapat diwujudkan dimana tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan lahan kosong yang dimilikinya, niscaya swasembada pangan dapat segera dicapai. Dengan demikian, Indonesia tidak lagi meng-import pangan dari negara-negara tetangga. Sebaliknya, kita justru dapat mengeksport hasil bumi ke negara lain. Semoga!
*Penulis pendidik dan pemerhati lingkungan
Sumber: Majalah Singa Manggala Edisi I/XVII/2017
Foto: google.com