Pemerintah Kabupaten Buleleng kembali menegaskan komitmennya dalam memerangi stunting. Hal ini terwujud melalui Rapat Koordinasi (Rakor) yang diselenggarakan di Ruang Rapat Bappeda, pada Rabu (24/9), yang bertujuan untuk mengevaluasi dan meningkatkan kualitas program "Percepatan Pencegahan dan Penurunan Stunting".
Acara ini dihadiri oleh berbagai pihak, menunjukkan kolaborasi kuat lintas sektor. Salah satu yang berperan penting adalah Dinas Komunikasi, Informatika, Persandian, dan Statistik (Kominfosanti) Kabupaten Buleleng, yang diwakili oleh Sekretaris Dinas, Luh Putu Adi Ariwati. Keterlibatan Dinas Kominfosanti menjadi kunci untuk memperkuat komunikasi publik dan edukasi kepada masyarakat, memastikan pesan tentang pencegahan stunting tersampaikan dengan efektif.
Wakil Bupati Buleleng, Gede Supriatna, menekankan pentingnya sinergi ini. "Stunting bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga ancaman bagi kualitas generasi muda kita," ujarnya. Beliau menambahkan bahwa dengan generasi yang sehat dan berdaya, Buleleng akan lebih siap menghadapi tantangan global.
Target Ambisius di Tengah Kenaikan Prevalensi Data terbaru dari Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2024 menunjukkan tantangan yang serius: prevalensi stunting di Buleleng justru meningkat menjadi 14,8%, naik dari tahun sebelumnya.
Meskipun demikian, Buleleng tetap optimis. Dalam Rencana Pembangunan Daerah (RPD) 2023–2026, target penurunan stunting ditetapkan secara bertahap, dengan sasaran ambisius mencapai 5% pada tahun 2026. Untuk mewujudkan target ini, Wakil Bupati meminta semua pihak segera menyusun langkah strategis, termasuk mengalokasikan anggaran khusus dalam APBD 2026.
Senada dengan Buleleng, Pemerintah Provinsi Bali melalui DPMDDUKCAPIL juga menjadikan stunting sebagai prioritas utama. Meskipun Bali secara nasional memiliki angka stunting terendah, ada kenaikan sebesar 1,5% pada tahun 2024. Target provinsi adalah menurunkan prevalensi hingga 8,7% pada tahun 2025.
Upaya yang dilakukan tidak hanya terfokus pada aspek medis (intervensi spesifik), tetapi juga melalui pendekatan yang lebih luas (intervensi sensitif). Ini termasuk penguatan peran Posyandu, pemberdayaan keluarga, peningkatan sanitasi, dan edukasi gizi yang mengintegrasikan kearifan lokal.